Minggu, 16 November 2014

18. Beda Warna

BEDA WARNA


Pada tanggal 20 Juli 2010 yang lalu, Bank Indonesia menerbitkan 2 jenis pecahan baru yaitu Rp.1000 logam yang bergambar angklung/gedung sate dan Rp.10.000 kertas yang tetap bergambar Sultan Mahmud Badaruddin.


Pecahan Rp.10.000 emisi 2010

Walaupun bergambar sama, tetapi warna uang baru ini sangat berbeda. Selain warna, sebenarnya terdapat cukup banyak perbedaan2 lainnya, seperti tahun emisi (2010), tanda tangan, corak latar belakang, logo BI di kanan bawah dan titik-titik seperti hujan pada sisi kanan kertas.



Perbandingan Rp.10.000 (2005) dengan Rp.10.000 (2010)


Berita peluncuran uang Rp.1000 dan Rp.10.000 emisi 2010 pada harian Kompas


Saat ini kita tidak menyadari betapa pentingnya informasi peluncuran uang tersebut, bila tidak didokumentasikan dengan baik maka akan membuat bingung anak cucu kita kelak. Sama halnya dengan kebingungan kita terhadap uang-uang kuno yang kita kumpulkan. Kapan uang-uang tersebut mulai diedarkan, siapa penandatangannya dan bagaimana latar belakang atau ceritanya sehingga uang-uang tersebut diterbitkan.


Untuk pecahan Rp.10.000 (2010) saat ini kita tahu ceritanya yaitu:
1. Kemungkinan besar dicetak untuk menggantikan emisi sebelumnya karena banyaknya keluhan dari masyarakat tentang kemiripan warna dengan pecahan Rp.100.000.
2. Penanda tangan adalah bapak Darmin Nasution yang pada waktu uang ini diluncurkan masih menjabat sebagai Deputi Gubenur Senior BI.

.
3. Beberapa saat kemudian pak Darmin diangkat menjadi Gubernur BI ke 14, sehingga ada kemungkinan emisi berikutnya dari uang ini akan mengalami perubahan keterangan penandatangan dari Deputi Gubernur Senior menjadi Gubernur sebagaimana uang-uang lainnya. Jadi mulai sekarang diperhatikan ya....


Keterangan tentang pak Darmin Nasution yang terpilih sebagai gubernur BI ke 14


4. Dengan demikian sampai saat ini berarti ada 3 variasi pecahan Rp.10.000 bergambar Sultan Mahmud Badaruddin yaitu:

1. Emisi 2005 yang ditandatangani oleh Burhanuddin Abdullah, masih dibagi lagi:
a. Tahun cetak 2005, 2006, 2007, 2008, 2009
b. Edisi uncut 2 lembar, 4 lembar dan plano 50 lembar
2. Emisi 2009 yang ditandatangani oleh Boediono
3. Emisi 2010 yang ditandatangani Deputi Gubernur Senior Darmin Nasution
Masih mungkin akan bertambah beberapa variasi lagi antara lain perbedaan watermark dan tahun emisi 2011 dst.


Dengan adanya catatan yang lengkap seperti ini maka kita akan mewariskan suatu informasi yang sangat berharga bagi anak cucu kita kelak, sehingga mereka tidak dibuat kebingungan seperti halnya kita.
Berikut akan saya berikan contoh beberapa jenis uang kuno yang membingungkan sebagian besar para kolektor.


Sama Rupa, lain warna

Kita semua tahu tentang seri Federal 1946. Seri ini terdiri dari 10 jenis uang kertas yaitu:
1. 5 gulden ungu
2. 5 gulden coklat
3. 10 gulden hijau
4. 10 gulden ungu
5. 25 gulden merah
6. 25 gulden hijau
7. 50 gulden
8. 100 gulden
9. 500 gulden
10. 1000 gulden


Pecahan 5 sampai 25 gulden masing2 terdiri dari 2 jenis berbeda warna, kita lihat gambarnya:


Pecahan 5 gulden 1946 ungu dan coklat


Pecahan 10 gulden 1946 hijau dan ungu

Pecahan 25 gulden 1946 merah dan hijau


Pertanyaannya sekarang adalah:
Yang mana yang beredar lebih dulu?
5 gulden ungu atau coklat?
10 gulden hijau atau ungu?
25 gulden merah atau hijau?


Semuanya memiliki corak yang sama, tahun yang sama, tanda tangan yang sama. Hanya berbeda di warna saja. Dengan tidak adanya keterangan apapun yang dapat kita jadikan pegangan, bagaimana kita bisa mengetahui jenis yang mana yang beredar duluan? Rasanya tidak mungkin kedua warna dicetak secara bersamaan.
Inilah salah satu pertanyaan yang paling sering terlintas di benak para kolektor. Jangankan pemula, para senior pun bila ditanya hal ini mungkin akan menjawab asal-asalan.
Karena itu pada kesempatan ini bersamaan dengan diluncurkannya pecahan Rp.10.000 rupiah beda warna, akan saya coba membahas masalah di atas.


PERTAMA

Warna yang berbeda dibuat agar setiap pecahan dapat dengan mudah dikenali sehingga menghindarkan timbulnya kekeliruan. Rasanya pada seri yang sama, tidak mungkin dibuat pecahan yang berbeda dengan warna yang mirip. Berdasarkan keterangan ini maka dapat diambil kesimpulan bahwa:


1. Tidak mungkin pecahan 5 gulden ungu beredar bersamaan dengan 10 gulden ungu karena warna keduanya terlalu mirip sehingga mungkin bisa keliru




2. Tidak mungkin pecahan 10 gulden hijau beredar bersamaan dengan 25 gulden hijau, keduanya terlalu mirip. bisa keliru.





3. Tidak mungkin pecahan 5 gulden coklat beredar bersamaan dengan 25 gulden merah, keduanya sangat mirip apalagi bila dilihat dari sisi belakang. Kemungkinan terjadinya kekeliruan sangat besar.



Karena 5 gulden ungu tidak mungkin bersama-sama dengan 10 gulden ungu maka 5 gulden ungu pasti bersamaan dengan 10 gulden hijau dan sebaliknya 5 gulden coklat bersamaan dengan 10 gulden ungu. Karena 25 gulden merah tidak mungkin bersamaan dengan 5 gulden coklat, maka sudah pasti bersamaan dengan kelompok 5 gulden ungu.
Karena itu akan terbentuk 2 kelompok:


Kelompok pertama adalah:
5 gulden ungu, 10 gulden hijau dan 25 gulden merah

Kelompok pertama



Kelompok kedua adalah:
5 gulden coklat, 10 gulden ungu dan 25 gulden hijau

Kelompok kedua

Pembagian kedua kelompok sudah dilakukan, tetapi belum menjawab pertanyaan kita, kelompok yang manakah yang beredar duluan?


KEDUA

Perhatikan huruf pada nomor seri dari pecahan 5 gulden ungu dan coklat (khusus untuk variasi yang 2 huruf):



Huruf pertama pada variasi 2 huruf pecahan 5 gulden ungu adalah C sedangkan pada 5 gulden coklat adalah W. Anak SD pun tahu bahwa C lebih dulu daripada W. Kita lihat bukti kedua pada pecahan 25 gulden merah dan hijau. Ternyata huruf pertama pada 25 gulden merah adalah L sedangkan pada 25 gulden hijau adalah N.




Berdasarkan kedua bukti di atas (sebenarnya terdapat beberapa bukti lain, seperti adanya gunting Sjafruddin pada pecahan di kelompok pertama) maka dengan berani kita simpulkan bahwa kelompok pertama adalah yang lebih dulu beredar.
Sebagai bukti terakhir, saya tampilkan satu tabel yang berisi rangkuman seri federal 1946.

Pecahan 5 gulden ungu memiliki huruf pertama (pada variasi 2 huruf) A,B,C,D dan E
Pecahan 5 gulden coklat W dan X, sedangkan Y dan Z masih berupa tanda tanya
Pecahan 10 gulden hijau memiliki huruf pertama F,G,H,J dan K. (Huruf I tidak terpakai)
Pecahan 10 gulden ungu tidak memiliki variasi 2 huruf
Pecahan 25 gulden merah hanya memiliki huruf L
Pecahan 25 gulden hijau dimulai dari huruf M sampai P
Pecahan 50 gulden Q dan R
Pecahan 100 gulden S dan T
Pecahan 500 gulden hanya U
Pecahan 1000 gulden hanya V
Pecahan 25 gulden merah, 500 gulden dan 1000 gulden tidak memiliki variasi 3 huruf dan
Pecahan 10 gulden ungu sebaliknya hanya memiliki variasi 3 huruf.


Sekarang dengan adanya bukti2 di atas dengan lantang kita berani bersuara bahwa kelompok pertama adalah yang lebih dulu beredar, baru disusul kelompok kedua. Karena itu susunan dan penomoran di KUKI sudah benar, uang yang pertama dikeluarkan memiliki nomor urut yang lebih kecil.

Tinggal masalah berikutnya yang tidak mudah dijawab yaitu: Mengapa pihak Bank waktu itu merasa perlu untuk mengeluarkan kelompok kedua? Padahal penomoran pada kelompok pertama belum selesai bahkan masih sangat jauh. Pecahan 25 gulden merah yang lebih dulu diedarkan contohnya, hanya memiliki huruf L sedangkan yang hijau memiliki huruf M,N,O dan P. Mengapa bisa demikian? Adakah diantara para pembaca yang bisa menjawabnya?


Contoh-contoh lain uang beda warna:


Pecahan Rp.10.000 (1964)
Tentunya teman2 sudah mengetahui yang mana yang beredar duluan, ceritanya dapat dibaca di info uang kuno 12.


Pecahan Rp.100 (1964)
Yang mana yang duluan beredar? Yang merah atau yang biru?
Jangan asal tebak! Berikan alasan yang masuk akal!




.
Rahasianya ada pada sisi belakang kertas uang.



Jawabannya adalah: yang merah beredar lebih dahulu. Perhatikan tulisan di bagian belakang kanan bawah :
Pada yang merah tercetak PT. PERTJETAKAN KEBAJORAN IMP. Sedangkan pada yang biru tecetak PN. PERTJETAKAN KEBAJORAN IMP.
Bila diurut sejarahnya maka akan terlihat dengan jelas perjalanan percetakan ini:
1. Pertjetakan Kebajoran NV
- seri kebudayaan 1952
- seri suku bangsa 1954 dan 1956
- pecahan 5 rupiah seri pekerja 1958 yang sudah beredar sejak 1956
2. PT Pertjetakan Kebajoran
- seri pekerja 1958 (kecuali pecahan 5 rupiahnya)
- seri sandang pangan 1960
- salah satu variasi pecahan 100 rupiah 1964 merah
3. PN. Pertjetakan Kebajoran
- seri Sukarno 1960
- seri Sukarno Borneo 1961
- seri sandang pangan 1961
- seri pekerja 1963 dan 1964 kecuali variasi pada 100 rupiah merah
- seri sukarelawan 1964
- seri Sudirman 1968
4. Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri)
- mulai dari 1975 sampai sekarang
.
Pecahan Rp.1000 (1958)
Yang mana yang duluan? Hijau atau coklat?






Pecahan Rp.5000 (1958)
Yang coklat duluan atau yang ungu?




Masih ada lagi jenis lainnya, seperti pada Sukarno 5 rupiah 1960 yang kita tahu ada 2 jenis watermark, banteng dan Sukarno. Yang mana yang duluan beredar? Bantengkah? Atau Sukarno kah? Pembahasannya nanti aja ya......



Jakarta 29 Juli 2010
Kritik dan saran hubungi arifindr@gmail.com
Sumber:
Jurnal Rupiah
KUKI
Koleksi teman-teman dan pribadi

19. Rp.2,5

2 ½

Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas sedikit tentang ejaan yang tertera pada uang kertas kita, khususnya pada pecahan 2 ½ rupiah.
Pertama-tama, mari kita ambil pecahan 2 ½ rupiah yang terdapat pada seri NICA 1943. Perhatikan tulisan pada nominalnya : DOEA ROEPIAH LIMAPOELOEH SEN



DOEA ROEPIAH LIMAPOELOEH SEN (NICA 1943)


Ejaan yang dipakai adalah ejaan van Ophuysen :


Sebelum tahun 1900 setiap peneliti bahasa Indonesia (pada waktu itu bahasa Melayu) membuat sistem ejaannya sendiri-sendiri, sehingga tidak terdapat kesatuan dalam ejaan. Pada tahun 1900, Ch. van Ophuysen mendapat perintah untuk menyusun ejaan Melayu dengan mempergunakan aksara Latin. Dalam usahanya itu ia sekedar mempersatukan bermacam-macam sistem ejaan yang sudah ada, dengan bertolak dari sistem ejaaan bahasa Belanda sebagai landasan pokok. Dengan bantuan Engku Nawawi gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim, akhirnya ditetapkanlah ejaan itu dalam bukunya Kitab Logat Melajoe, yang terkenal dengan nama Ejaan van Ophuysen atau ada juga yang menyebutnya Ejaan Balai Pustaka , pada tahun 1901. Ejaan tersebut tidak sekali jadi tapi tetap mengalami perbaikan dari tahun ke tahun dan baru pada tahun 1926 mendapat bentuk yang tetap.
Selama Kongres Bahasa Indonesia tahun 1938 telah disarankan agar ejaan itu lebih banyak diinternasionalisasikan.


Yang saya mau tekankan disini selain masalah ejaannya juga susunan kata-katanya:
DUA RUPIAH dituliskan lebih dulu baru disusul LIMAPULUH SEN



Sekarang kita ambil beberapa uang lainnya.
Perhatikan susunan kata pada pecahan 2 ½ rupiah seri ORI III 1947 yang tertulis DUA SETENGAH RUPIAH



DUA SETENGAH RUPIAH (ORI III 26 Juli 1947)


Lalu kita lihat susunan kata pada Uang Daerah Propinsi Sumatera (URIPS) yang dicetak tanggal 17 Agustus 1947. Susunan kata menjadi DUA RUPIAH SETENGAH


DUA RUPIAH SETENGAH (URIPS 17 Agustus 1947)



Susunan kata berubah lagi pada ORIDA (Oeang RI Daerah Atjeh) tanggal 15 September 1947 yang tertulis : DUA RUPIAH LIMA PULUH SEN. Mirip dengan seri NICA tetapi sudah menggunakan ejaan Suwandi :

Dalam perkembangan selanjutnya terutama sesudah Indonesia merdeka dirasakan bahwa ada beberapa hal yang kurang praktis yang harus disempurnakan. Sebenarnya perubahan ejaan itu telah dirancang sewaktu pendudukan Jepang. Pada tanggal 19 Maret 1947 dikeluarkan penetapan baru oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan bapak Suwandi (SK No. 264/Bag.A/47) tentang perubahan ejaan bahasa Indonesia; sebab itu ejaan ini kemudian terkenal dengan nama Ejaan Suwandi. Sebagai dampak dalam keputusan di atas, bunyi oe diganti dengan u. Tetapi baru pada tahun 1949, menurut surat edaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tanda oe resmi diganti dengan u yaitu mulai 1 Januari 1949.



DUA RUPIAH LIMA PULUH SEN (ORIDA 15 September 1947)


Selain macam-macam tulisan di atas, ternyata ada lagi satu jenis uang daerah yang agak aneh dalam menuliskan kata RUPIAH.


DUA SETENGAH RUPIJAH


Sudah dapat kita duga bahwa uang tersebut pasti berasal dari daerah Jawa, tepatnya adalah Daerah Keresidenan Kedu. Tercetak di uang tersebut tanggal terbitnya yaitu Magelang 25 Oktober 1948.


Lalu dimasa pemerintahan Federal, pemerintah Belanda menerbitkan lagi uang kertas terakhirnya yaitu seri Federal III yang bertahun 1948. Ejaan yang dipergunakan masih ejaan van Ophuysen yang berbunyi DOEA ROEPIAH SETENGAH. Yang istimewa adalah kata-kata yang dalam bahasa Indonesia tersebut selain diletakkan di atas kata-kata dalam bahasa Belandanya juga memiliki ukuran yang sama besar. Bandingkan dengan seri NICA yang susunannya terbalik serta kata-kata bahasa Belandanya lebih besar daripada Indonesianya. Hal ini mungkin berarti bahwa Belanda sudah merasa kalah dan berusaha untuk mengambil hati bangsa Indonesia.


DOEA ROEPIAH SETENGAH (Federal III 1948)



Dari contoh-contoh di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa dimasa awal kemerdekaan Indonesia, ejaan yang dipakai masih kacau. Pihak Belanda mempergunakan ejaan ciptaannya yaitu van Ophuysen, sementara pihak Indonesia berusaha menggantinya dengan ejaan Suwandi. Selain ejaan, susunan atau tata bahasanyapun masih kacau, ada yang tercetak DUA SETENGAH RUPIAH, ada yang DUA RUPIAH SETENGAH dan ada yang DUA RUPIAH LIMA PULUH SEN.


Dapat dipastikan bahwa pada waktu itu telah terjadi perdebatan yang sengit antara para pakar tata bahasa. Yang manakah yang akan dipakai untuk pecahan-pecahan selanjutnya, apakah
DUA SETENGAH RUPIAH,
DUA RUPIAH SETENGAH atau
DUA RUPIAH LIMA PULUH SEN ?

Dan pemenangnya sudah dapat kita duga adalah:


DUA SETENGAH RUPIAH (1951)


Sejak 1951, rupanya para pakar telah mengambil kata sepakat untuk menuliskan semua pecahan 2 ½ rupiah dalam bentuk: DUA SETENGAH RUPIAH

.
.Perkembangan ejaan selanjutnya adalah:


Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 kembali mempersoalkan masalah ejaan. Sesuai dengan usul Kongres, kemudian dibentuk sebuah panitia dengan SK No. 44876 tanggal 19 Juli 1956. Panitia ini berhasil merumuskan patokan-patokan baru pada tahun 1957. Namun keputusan ini tidak dapat dilaksanakan karena ada usaha untuk mempersamakan ejaan Indonesia dan Melayu. Sebab itu pada akhir tahun 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu berhasil merumuskan suatu konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu – Indonesia). Tetapi konsep ejaan ini juga tidak jadi diumumkan karena perkembangan politik kemudian.

Karena laju perkembangan pembangunan, maka dirasakan bahwa ejaan perlu disempurnakan. Sebab itu, di tahun 1966 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sarino Mangunpranoto dibentuk lagi sebuah Panitia Ejaan Bahasa Indonesia, yang bertugas menyusun konsep baru, yang merangkum segala usaha penyempurnaan yang terdahulu. Sesudah berkali-kali diadakan penyempurnaan, maka berdasarkan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972 diresmikan ejaan baru yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1972, yang dinamakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Perubahan yang paling penting dalam EYD adalah:

Perubahan dj (seperti pada kata djalan) menjadi j (jalan)
Perubahan j (seperti pada pajung) menjadi y (payung)
Perubahan nj (njonja) menjadi ny (nyonya)
Perubahan sj (sjarat) menjadi sy (syarat)
Perubahan tj (tjakap) menjadi c (cakap) dan
Perubahan ch (tarich) menajdi kh (tarikh)


Ternyata kita juga dapat mempelajari perkembangan ejaan dan tata bahasa Indonesia dari uang kuno. Menarik bukan?


Jakarta 15 Agustus 2010
Saran dan kritik hubungi : arifindr@gmail.com


Sumber:
1. KUKI
3. Koleksi pribadi

20. Half Gulden

Tahukah teman-teman semua bahwa diantara seri De Japansche Regeering terdapat satu lembar uang yang memiliki kesalahan cetak sangat fatal? Apakah ada yang mengetahuinya?


Sebagaimana kita ketahui seri ini terdiri dari 7 pecahan:

1. 1 cent
2. 5 cent
3. 10 cent
4. 1/2 gulden
5. 1 gulden
6. 5 gulden
7. 10 gulden

Mari kita lihat gambarnya.


Seri Japansche Regeering 1, 5 , 10 cent, 1/2 dan 1 gulden




Seri Japansche Regeering 5 gulden




Seri Japansche Regeering 10 gulden



Coba teman-teman perhatikan nominal yang tertera di masing-masing kertas uang. Ada tulisan EEN CENT, EEN GULDEN, VIJF CENT, VIFJ GULDEN dan sebagainya yang tertulis dalam bahasa BELANDA.



Tetapi coba perhatikan pecahan 1/2 gulden :
.


De Japansche Regeering 1/2 (Half) gulden




Apakah 1/2 dalam bahasa Belandanya adalah HALF?


Pada pecahan-pecahan 1/2 lainnya tertulis bukan HALF melainkan EEN HALVE


Munbiljet 1/2 (EEN HALVE) Gulden 1920



Tidak ada yang menyadarinya bukan?
Apakah pemerintah Jepang keliru?

Masukan dari seorang teman: Setelah membuka kamus Belanda ternyata kata HALF juga berarti setengah seperti halnya kata EEN HALVE. Tetapi pertanyaannya apakah kata HALF sudah berlaku sebelum uang tersebut diedarkan atau justru karena uang tersebut maka kata HALF menjadi populer. Kita tunggu komentar dari ahlinya.

Jakarta 20 Agustus 2010
Kritik dan saran hubungi arifindr@gmail.com
Sumber:
1. Jurnal Rupiah
2. KUKI
3. Koleksi pribadi

21. Perang Uang (NICA vs ORI)

Perang Uang


Untuk kali ini Info Uang Kuno akan menceritakan sedikit tentang keadaan saat-saat awal kemerdekaan kita, dimana terjadi adu kekuatan antara uang Belanda dengan uang ORI.


Setelah Indonesia merdeka dan uang Jepang dinyatakan tidak berlaku, Belanda yang pemerintahannya masih di dalam pengasingan di London datang kembali ke Indonesia dan dengan sengaja mengeluarkan uang baru. Uang tersebut dicetak oleh American Bank Note Company dan sering disebut sebagai uang NICA. Sebenarnya penyebutan sebagai uang NICA hanya terdapat di KUKI saja, sedangkan untuk katalog Mevius seri ini dikelompokkan sebagai seri munbiljet mengikuti seri2 munbiljet lainnya (1919, 1920, dan 1940). Pembahasan tentang seri munbiljet yang dikeluarkan oleh Departeman Keuangan Pemerintah Belanda akan dibahas dilain kesempatan.


Jadi patut diperhatikan bahwa uang ini bukan dicetak oleh Javasche Bank, melainkan oleh pemerintah Belanda sendiri. Karenanya uang NICA memiliki ciri2 yang khas Belanda seperti:

- Tertulis kata NEDERLANDSCH INDIE, bukan JAVASCHE BANK (perhatikan seri-seri munbiljet lainnya)
- Terdapatnya gambar Ratu Wilhelmina
- Terdapatnya lambang kerajaan Belanda
- Di bagian belakang terdapat gambar angkatan perang Belanda
- Ditandatangani bersama antara Gubernur Jendral Nederlandsch Indie
HJ v Mook dan Presiden Javasche bank Dr. RE Smits


HJ v Mook dan RE Smits


Rakyat menyebut uang NICA ini sebagai uang merah karena warnanya pada pecahan 10 gulden yang merah menyala. Sedangkan uang ORI yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia sebagai tandingannya sering disebut sebagai uang putih.



Uang 'merah' NICA




Uang 'putih' ORI



Setelah perang dunia II selesai, sekutu sebagai pemenang perang datang kembali ke Indonesia di bawah bendera AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Philip Christison. Tugas AFNEI adalah sebagai berikut:

1. Menerima penyerahan dari tangan Jepang.
2. Membebaskan para tawanan perang Sekutu.
3. Melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk kemudian dipulangkan.
4. Menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintahan sipil Hindia belanda (NICA)
5. Menghimpun keterangan tentang penjahat perang dan menuntut mereka di depan pengadilan Sekutu.


Kedatangan sekutu awalnya disambut baik (netral) oleh pemimpin Indonesia sebab melihat tugas yang dibawanya. Namun setelah mengetahui bahwa ternyata sekutu membawa NICA (Netherlands Indies Civil Administration) maka Indonesia mulai curiga dan meragukan maksud kedatangan pasukan sekutu tersebut.

Kecurigaan tersebut disebabkan karena:

1. NICA adalah pegawai sipil pemerintah Hindia-Belanda yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan sipil di Indonesia.
2. Dugaan bahwa Belanda mau menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia sebab Belanda masih merasa memiliki hak di Indonesia.
3. NICA mempersenjatai orang-orang KNIL yang baru dilepaskan dari tawanan Jepang.


Karena itu pihak Indonesia menentang dengan keras kedatangan sekutu, perangpun pecah, apalagi setelah timbulnya kejadian tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby pemimpin Brigade 49 Divisi India di Surabaya tanggal 30 Oktober 1945. Jendral Mallaby ditembak oleh orang yang tidak dikenal dan mobilnya di bakar. Peristiwa ini merupakan salah satu pemicu terjadinya Pertempuran 10 November di Surabaya.
.
Mobil Jendral Mallaby yang hangus terbakar

Uang merah alias NICA tidak diakui oleh pemerintah Indonesia sebagai alat pembayaran yang sah, yaitu dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah pada 2 Oktober 1945. Walaupun demikian uang NICA terus beredar di daerah yang masih diduduki Belanda. Semua ini dilakukan oleh Belanda agar dapat menghancurkan Indonesia sehingga dapat berkuasa kembali. Cara lain yang dilakukan 0leh pihak Belanda adalah dengan membuat ORI palsu agar nilainya hancur, hampir semua jenis ORI dibuat palsunya tetapi terutama ORI dengan nominal besar (100 rupiah).


Peredaran uang NICA yang bersamaan dengan ORI telah menimbulkan kekacauan bagi rakyat, khususnya penduduk yang tinggal di daerah perbatasan antara daerah yang dikuasai Belanda dan daerah yang dikuasai Indonesia. Di satu pihak, penduduk yang memiliki ORI takut jika diketahui tentara Belanda. Di lain pihak, mereka yang memiliki uang NICA juga takut jika diketahui oleh pasukan Republik Indonesia. Kurs NICA-ORI waktu itu bervariasi dikisaran 1:10 sampai 1:5.


Tak ayal lagi selain terjadi perang fisik terjadi juga 'perang uang' di daerah-daerah pendudukan seperti di Jakarta, Bogor, Bandung dan kota-kota besar lainnya yang diduduki Belanda. Pertarungan dua mata uang ini memaksa setiap orang harus menentukan pilihan : menolak atau menerima antara uang NICA dan ORI.


Tidak jarang suasana yang demikian menimbulkan insiden, penduduk yang setia kepada RI hanya mau menggunakan ORI sebagai alat pembayaran yang sah, dan semakin lama ORI semakin populer di kalangan rakyat sehingga ada surat kabar yang terbit di Jakarta saat itu memuat berita dengan judul "Uang Kita Menang, Kata Rakjat Djakarta".

Pada 27 Mei 1947, Komisi Jendral Belanda mengajukan nota kepada pihak RI yang harus dijawab dalam waktu 14 hari. Isinya antara lain mengajak kedua pihak untuk mengeluarkan uang bersama. Pada prinsipnya usul Belanda ini diterima tetapi tidak pernah dilaksanakan karena adanya berbagai masalah lain yang timbul, terutama masalah politik. ORI dan ORIDA tetap berlaku hingga ditarik kembali dari peredarannya oleh Pemerintah Republik Indonesia Serikat pada bulan Maret 1950 untuk kemudian diganti dengan uang seri RIS.


Uang RIS tahun 1950 yang menggantikan ORI dan ORIDA



Beredarnya uang ORI di Jawa dan madura disambut gembira masyarakat karena akhirnya Indonesia memiliki mata uangnya sendiri. Karena ORI tidak dapat diedarkan di Sumatera dan beberapa daerah lainnya (karena alasan keamanan, transportasi dll) maka daerah2 tersebut mengeluarkan jenis uang sendiri (ORIDA = Oeang Republik Indonesia Daerah) seperti :

ORIPS (Oeang Repoeblik Indonesia Provinsi Sumatra)
ORIKA (Oeang Republik Indonesia Kaboepaten Asahan)
URIDJA (Uang Republik Indonesia Keresidenan Djambi)
ORIDA (Oeang Republik Indonesia Keresidenan Atjeh) dan lain sebagainya.

Uang Daerah sangat banyak jenisnya, lebih dari 530 jenis yang sudah terdata belum lagi ditambah dengan berbagai variasi nomor seri, stempel dan tanda tangan. Semoga pada suatu saat website ini juga dapat memuat kisahnya.


Beberapa contoh uang daerah (ORIDA)


Demikianlah sedikit kisah perang uang yang terjadi sekitar tahun 1945-1949, semoga dapat menambah pengetahuan kita bersama. Akhir kata saya mengucapkan terima kasih kepada nara sumber yang telah banyak membantu. Terutama bapak Alwi Shahab untuk bukunya Batavia Kota Hantu, Pemerintah Jawa Timur dengan koleksi arsip Kementrian Dalam Negeri, Wikipedia dan teman-teman kolektor lainnya.
Jakarta 26 Agustus 2010
Kritik dan saran hubungi arifindr@gmail.com

22. Muntbiljet

Kita tahu bahwa uang-uang kertas seperti seri Coen Mercurius, Bingkai, Gedung, Coen, Wayang dan sebagainya yang diterbitkan selama penjajahan Belanda dikeluarkan oleh DE JAVASCHE BANK (DJB). Salah satu ciri utamanya adalah uang-uang tersebut mempunyai kata bertulisan DE JAVASCHE BANK, memiliki watermark (kecuali seri gedung) dan text undang-undang dalam 4 bahasa.



Beberapa contoh uang kertas terbitan De Javasche Bank




Tetapi tahukah teman-teman bahwa ada sebagian uang kertas yang bukan diterbitkan oleh DJB?
Loh, kalau begitu oleh siapa?



Beberapa jenis uang kertas tidak dikeluarkan oleh DJB tetapi oleh Departemen Keuangan Netherlands Indie dan uang-uang kertas ini dikenal sebagai seri muntbiljet. Ciri khas dari uang2 ini antara lain adalah:
1. Hanya terdiri dari pecahan kecil di bawah 5 gulden
2. Bertulisan Nederlandsch indie muntbiljet
3. Tidak mempunyai watermark
4. Tidak ada text undang2 dalam 4 bahasa (Belanda, Jawa, Arab dan Mandarin)
5. Memiliki gambar yang khas Belanda seperti gambar Ratu atau lambang Belanda
6. Ditandatangani bersama oleh pejabat DJB dan pejabat Departemen Keuangan (Departement van Financien)



Mari kita lihat seperti apakah uang-uang tersebut




Seri muntbiljet I


Diterbitkan tahun 1919-1920, bergambar Ratu Belanda Wilhelmina, terdiri dari 2 pecahan yaitu 1 dan 2 1/2 gulden. Seri ini sering disebut sebagai seri Wilhelmina muda. Perhatikan ke lima ciri yang telah disebutkan di atas.



Bagian depan seri muntbiljet I





Bagian belakang yang bergambar lambang kerajaan Belanda




Seri Muntbiljet II



Dikeluarkan tahun 1920, terdiri dari 3 pecahan yaitu 1/2, 1 dan 2.50 gulden. Keenam ciri muntbiljet terdapat pada seri ini.


Seri muntbiljet II 1920


Seri Muntbiljet III



Diterbitkan tahun 1940 dan terdiri dari 2 pecahan yaitu 1 dan 2,5 gulden. Pelajari ciri-ciri muntbiljet yang telah disebutkan di atas.



Seri muntbiljet III 1940



Bagian belakang yang bergambar lambang kerajaan Belanda





Dengan adanya seri muntbiljet ini terlihat bahwa ada pembagian kepentingan atau kerja sama antara pihak pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan dengan pihak De Javasche Bank. Pembagian kepentingan ini selain terlihat pada uang kertas juga sangat jelas terlihat pada uang logam. Tidak ada uang logam yang mencantumkan tulisan DJB.


Uang logam 2,5 gulden bergambar Wilhelmina




Sekarang timbul pertanyaan, termasuk jenis yang manakah uang seri NICA? Apakah uang ini termasuk seri yang dikeluarkan oleh DJB atau termasuk seri muntbiljet?

Penamaan setiap seri uang kertas berasal dari gambar atau tema yang diusung oleh seri yang bersangkutan. Misalnya seri Coen karena di uang tersebut terdapat gambar JP Coen, seri wayang karena bergambar wayang, seri gedung, seri Soekarno, seri binatang, seri bunga, seri Sudirman dan sebagainya. Ada juga yang berdasarkan tema, seperti seri kebudayaan, seri pekerja dan seri sandang pangan. Tetapi untuk seri NICA, penamaannya bukan berdasarkan gambar ataupun tema. Bagi mereka yang tidak mengerti sejarah dan latar belakang sewaktu uang ini diedarkan akan bertanya-tanya mengapa seri ini disebut seri NICA, tidak ada satupun kata atau gambar yang berhubungan dengan NICA di uang tersebut.


Pecahan 5 gulden 'NICA' 1943

.
.
.

Untuk menjawab pertanyaan di atas kita kembali ke 5 ciri yang telah disebutkan.
.

Ciri pertama: hanya terdiri dari pecahan di bawah 5 gulden
Ciri ini jelas tidak terpenuhi, seri NICA tediri dari pecahan yang lengkap mulai dari 50 cent sampai dengan 500 gulden.


Ciri kedua: bukan bertulisan DJB tetapi Nederlandsche Indie muntbijet, dengan jelas terlihat di bagian muka semua uang seri NICA
.


Tulisan Nederlandsch indie


Ciri ketiga : tidak mempunyai watermark, memang benar bahwa seri NICA tidak memiliki pengaman berupa watermark tetapi berupa titik-titik warna-warni.


Ciri keempat : tidak memiliki text undang-undang dalam 4 bahasa
Seri NICA hanya terdiri dari text undang-undang dalam bahasa Belanda dan Melayu


Ciri kelima : memiliki gambar Ratu atau lambang kerajaan Belanda
Seri Nica memiliki keduanya.




Gambar lambang dan Ratu Belanda di seri NICA



Ciri keenam : ditandatangani oleh pejabat DJB dan Departemen Keuangan
Dalam hal ini mungkin karena dalam keadaan perang, tanda tangan pejabat Dep Keu diganti oleh Gubernur Jendral Nederlandsch Indie yaitu H.J. van Mook. Beliau adalah Gubernur Jendral Belanda terakhir yang berkuasa di tanah air kita.



Tanda tangan oleh Gubernur Jendral Ned indie dan Presiden DJB



H.J van Mook, Gubernur Jendral Nederlandsch Indie terakhir



Dengan dipenuhinya sebagian besar dari ciri-ciri tersebut maka tidak dapat dipungkiri bahwa seri NICA sebenarnya adalah seri muntbiljet. Dan berdasarkan urutannya maka seri ini dapat dimasukkan sebagai seri muntbiljet keempat. Jadi penamaan NICA bukan berdasar gambar atau tema yang diusung seri ini, melainkan latar belakang peristiwa yang terjadi sewaktu uang ini diedarkan. Menurut saya lebih tepat jika seri ini dituliskan sebagai seri muntbiljet IV (NICA) 1943.


Pada katalog KUKI, nomor urut yang diberikan pada uang kertas berdasarkan urutan waktu pertama dikeluarkannya uang tersebut. Maka nomor urut seri NICA (1943) merupakan lanjutan nomor urut seri Dai Nippon (1942). Tidak demikian halnya pada katalog Pick atau Mevius. Nomor urut diberikan bukan berdasarkan waktu dikeluarkannya uang tersebut tetapi berdasarkan jenis atau kelompoknya. Pada katalog Pick urutan uang yang dikeluarkan oleh DJB dan jenis muntbiljet terpisah dengan jelas. Dengan demikian terjadi perbedaan pada urutan nomor antara KUKI dengan Pick.



Contoh:
Muntbiljet 1 gulden Wilhelmina 1919 KUKI 118 sedangkan Pick 100
Muntbiljet 2 1/2 gulden Wilhelmina 1919 KUKI 119 Pick 101
Muntbiljet 1/2 gulden 1920 KUKI 123 Pick 102
Muntbiljet 1 gulden 1920 KUKI 124 Pick 103
Muntbiljet 2.5 gulden 1920 KUKI 125 Pick 104
Coen 5 gulden KUKI 126 Pick 69
Coen 10 gulden KUKI 127 Pick 70

.
.


Seri NICA hanya terdapat pada KUKI, seri ini disebut demikian karena diedarkan pada masa pemerintahan sipil Hindia Belanda. Sedangkan pada katalog lain, seri ini tidak dikenal sebagai seri NICA, melainkan seri muntbiljet 1943. Jadi jangan heran bila pada suatu saat teman-teman mendapatkan katalog lelang luar negeri yang bertulisan Nederlands Indie Muntbiljet 100 gulden 1943, tanpa adanya kata NICA samasekali.



Urutan penomoran pada Pick berdasarkan kelompok DJB dan muntbiljet


Perhatikan bahwa pada Pick nomor urut seri NICA lebih kecil daripada penjajahan Jepang, terbalik dibandingkan KUKI



Pada katalog Mevius, jelas sekali bahwa NICA dikelompokkan sebagai seri muntbiljet



Jakarta 8 september 2010
Kritik dan saran hubungi arifindr@gmail.com.

Sumber:
KUKI
Pick, Mevius
Materi seminar oleh pak Sumana
Ebay
Koleksi pribadi